Ijazahtersebut, merupakan ijazah yang didapat Abuya Dimyati Banten, seorang ulama kharismatik dari Banten, ayahandanya Mustasyar PBNU KH Abuya Muhtadi. Sampai-sampai, kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku. Bahkan kepada putera-puterinya (termasuk juga kepada santri-santrinya) Mbah Dim
Ruqayah Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok demi memenuhi pundi-pundi keilmuannya. kata Mbah Dim, thariqah aing mah ngaji!, yang artinya ngaji dan belajar adalah thariqahku. Bahkan kepada putera-puterinya
MuslimObsession - KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan sebutan Abuya Dimyati adalah salah satu sosok ulama karismatik yang berasal dari Banten. Beliau lahir pada tahun 1925-an. Sumber lain menyebutkan bahwa Abuya Dimyati lahir pada 1919. Abuya Dimyati sering berpesan bahwa, "Thariqah aing mah ngaji" 'tarekat saya mah mengaji'.Hal ini sejalan lurus dengan laku hidup Abuya Dimyati
KeluargaBesar Abuya Dimyati Nama lengkapnya adalah KH. Muhammad Dimyati bin Muhammad Amin al-Banteni yang biasa dipanggil dengan Abuya Dimyati, atau oleh kalangan santri Jawa akrab dipanggil "Mbah
JoinFacebook to connect with Kata Kata Cinta Uci and others you may know. Abuya Kyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati lebih dikenal sebagai Abuya Uci meninggal 6 April 2021 adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari BantenUci adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan
arti suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti. 66 Vol. 14, No 2 Januari-Juni 2016 Sejarah Lisan Eksistensi Buya Dimyati dan Ajarannya di Banten M. Sari, Muhamad Shoheh, Mohammad Shofin Sugito, dan Aliyah Hidayati Abstrak Tulisan ini dibuat untuk membantah pandangan sebagian orang yang mengatakan bahwa keberadaan tokoh Islam masa lalu itu dapat diyakini, bila hanya didasarkan pada karya tulis belaka. Mengingat orang-orang yang menafikan eksisitensi Walisongo berpandangan bahwa keberadaan karya tulis merupakan satu-satunya bukti sejarah yang dapat dipercaya untuk menunjukkan eksistensi tokoh masa lampau. Hingga kini masih jarang kita temukan kajian tentang biografi dan ajaran seorang tokoh ulama yang didasarkan pada sejarah lisan. Sejarah lisan oral history adalah sumber sejarah yang dilisankan oleh manusia pengikut atau yang menjadi saksi akan adanya peristiwa sejarah pada zamannya. Dengan demikian, sejarah lisan dimaksudkan sebagai usaha untuk merekam, menyusun, dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, Sejarah lisan merupakan sebuah metode untuk menggali, terus-menerus menyelidiki pengalaman seseorang, demi mengatasi keterbatasan keterangan dari dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Buya Dimyati dan ajarannya merupakan identitas keislaman warga Banten. Eksistensinya masih banyak didasarkan pada sejarah lisan yang tersebar. Penelitian ini dimaksud untuk membuktikan bahwa sejarah lisan diakui secara ilmiah dan dapat diyakini sebagai ‘dokumentasi’ penting akan eksistensi ulama dan ajarannya. Di samping itu, hal ini menjadi jawaban bagi orang-orang yang menafikan ajaran-ajaran ulama yang direngkuh dan diimani, yang pada prinsipnya didasarkan pada katanya dan katanya. Kata Kunci Sejarah Lisan, Abuya Dimyati, Eksistensi Ulama Banten, Cidahu. A. Latar Belakang dan Masalah Penelitian Kajian mengenai wajah Islam di Indonesia, tak lepas dari peran para pendakwahnya yang datang bersamaan dengan periode-periode awal Islamisasi di Nusantara. Meski terdapat perbedaan pendapat ada yang menyebut sejak abad ke-7, 13, ada pula yang menyebut abad ke-15, namun yang jelas mengkaji wajah Islam di Indonesia otomatis terkait dengan peran para ulama, eksistensi, dan ajarannya. Ulama adalah inti dari identitas keislaman warga di sebuah teritorial tertentu. Menafikan ulama berarti memutus mata rantai proses keislaman dari ritme sejarahnya. Sehingga, dalam konteks Indonesia, ulama merupakan identitas dan simbol keberagamaan sekaligus pusat inspirasi social dan budaya kemasyarakatan. Namun dalam ‘mendokumentasikan’ eksistensi ulama dan ajarannya tersebut, tradisi tulis-menulis di Indonesia relative masih sangat rendah bila dibandingkan dengan sejarah lisan. Sehingga dirasa perlu untuk mulai mengkodifikasi sejarah-sejarah lisan yang tersebar di masyarakat. Baru-baru ini tersebar usaha-usaha menafikan Walisongo, sang ulama pendakwah Islam perdana di pulau Jawa dari kisaran sejarah Islam Indonesia. Lihat saja misalnya, buku Ensiklopedia Islam terbitan PT. Ichtiar Baru Van Hoeve di Jakarta sekitar tahun 2008 yang ditulis setebal tujuh jilid buku1 secara sengaja meniadakan keberadaan 1Tim, Ensiklopedia Islam, Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2008
Pendidikan Anak Kyai 3 Oleh A. Fatih Syuhud Kyai Dimyati adalah pengasuh sebuah pesantren di Kampung Cidahu Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang Banten. Beliau dikenal sebagai ulama yang komplit tinggi ilmunya, luas wawasannya, kharismatik kepribadiannya dan yang tak kalah penting, disiplin dalam mendidik putranya. Setiap pagi Abuya Dimyati, begitu beliau biasa disapa para santrinya, mengajar kitab kuning pada para santri yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Program pengajian kitab ini dianggap sangat penting bagi beliau. Terbukti, tidak ada seorangpun yang boleh mengganggu acara tersebut. Para tamu pejabat tinggi yang sering datang untuk silaturrahmi harus menunggu dengan sabar sampai beliau selesai mengajar. Apalagi tamu-tamu yang lain. Ini fenomena langka. Umumnya, tidak sedikit para kyai yang meliburkan program pengajian kitabnya apabila ada pejabat penting yang datang bertamu. Beliau dikenal dengan prinsip yang dikatakannya dalam bahasa Sunda “Thariqah aing mah ngaji!” Tarekat saya adalah ngaji. Ini mirip dengan kata-kata kyai Syuhud Zayyadi saat ditanya kenapa beliau sangat menyukai sholawat. “Tang tarikat jiyah sholawat” tarikat saya adalah baca sholawat, jawab beliau dalam sebuah kesempatan. Tetapi kelebihan Abuya bukan itu saja. Ada satu hal lagi yang patut diteladani oleh para kyai lain. Yaitu, beliau tidak akan memulai mengajar kitab sampai semua putra-putrinya hadir. Mendidik para santri merupakan hal penting. Tetapi bagi Abuya Dimyati, mendidik keluarga istri dan anak sendiri jauh lebih penting karena itu perintah pertama yang secara eksplisit disebut dalam Al Quran agar pendidikan dimulai dari diri sendiri dan keluarga QS At Tahrim 66 6. Seperti pernah saya singgung pada tulisan sebelumnya, kesuksesan seorang kyai bukan pada seberapa banyak santri yang nyantri di pesantrennya. Sukses tidaknya seorang kyai dalam hemat saya terletak pada seberapa besar dia berhasil mendidik keluarganya yakni anak dan istrinya. Dalam konteks ini, Abuya Dimyati merupakan sosok ulama yang sangat sukses. Kesuksesan Abuya bukan hanya dalam memberikan wawasan keilmuan pada anak sehingga putra-putrinya mewarisi kealiman ayahnya. Tetapi juga dalam mendidik kepribadian mereka. Di Banten beliau adalah seorang ulama yang masyhur. Masyarakat Banten menyebutnya sebagai “pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia.” Karena selain kyai yang berilmu tinggi, beliau juga seorang mursyid tarikat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Tidak heran, dengan kemasyhuran itu, banyak para pejabat tinggi negara yudikatif dan legislatif yang bertamu ke rumahnya. Biasanya, tamu pejabat tinggi tidak datang dengan tangan hampa. Tidak sedikit dari mereka yang datang dengan berbagai limpahan hadiah namun semua itu ditolaknya. Ketika beliau diberi sumbangan oleh para pejabat beliau selalu menolak dan mengembalikan sumbangan tersebut. Salah satu contoh, ketika beliau diberi sumbangan oleh Mbak Tutut anak mantan presiden Soeharto sebesar 1 milyar beliau mengembalikannya. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat bersahaja dan sederhana. Kesederhanaan adalah perilaku ideal seorang kyai. Dan perilaku keseharian adalah teladan terbaik orang tua dalam memberi pendidikan kepribadian pada anak-anaknya QS Al Ahzab 3321. Tentu, hidup sederhana tidak harus bermakna miskin. Justru, hidup sederhana yang ideal adalah yang dilakukan orang kaya. Karena itu menjadi bukti, bahwa kekayaan bukanlah tujuan, tapi hanya sebagai akibat dari hasil kerja keras yang notabene merupakan salah satu perintah Allah QS Al Jumah 629-10.[]
Foto Istimewa - Betapa ruginya orang Indonesia jika tidak mengenal ulama satu ini. Kisah hidupnya bisa jadi teladan umat muslim dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam menjalani hidup atau pengabdian di bidang ilmu agama. Orang-orang memanggilnya mbah Dim. Beliau bernama lengkap Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin dari Banten. Beliau lahir sekitar tahun 1925 dari pasangan dari dan Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Mbah Dim merupakan tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian, wirangi hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan. Dalam kehidupan sehari-hari beliau ahli sodakoh, puasa, makan ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi Muhammad, humanis, dan penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah dikenal cerdas dan sholih. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Mbah Dim dikenal gurunya dari para guru dan kiainya para kiai. Tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Di Banten, beliau dijuluki pakunya daerah selain sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama beliau, beliau terkenal sangat sederhana dan bersahaja. Jika melihat wajah beliau terasa adem’ dan tenteram bagi orang yang melihatnya. Mbah Dim juga dikenal sebagai ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama. Beliau bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Beliau penganut Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Mbah Dim juga seorang qurra’ dengan lidah fasih. Wiridan al-Qur’an istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat. Karena beragam keilmuannya itu, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi. Mbah Dim menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru “Thariqah aing mah ngaji!” Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Beliau sangat percaya sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Pentingnya mengaji dan belajar kerap diingatkan Mbah Dim. “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur” demikian kata beliau. Pesan ini sering diulang-ulang. Ngaji menjadi wajib ain bagi putra-putrinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah keteladanan Mbah Dim dan putra-putrinya. Mbah Dim berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa seperti Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Para kiai sepuh tersebut menurut mbah Dim memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna. Setelah mbah Dim berguru kepada para kiai tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Mbah Dim tak hanya alim ilmu setelah mengenyam di sejumlah pondok. Ketika di pondokpun belau sudah diminta ngajar. Misalnya di di Watucongol, Mbah Dim sudah diminta Mbah Dalhar. Kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang kitab banyak’. Terbukti mulai masih mondok di Watucongol sampai di tempat lainya, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob Sulthon Aulia’. Mbah Dim memang wira’i dan dan tidak suka dengan kesenangan dunia topo dunyo. Pada tiap Pondok disinggahi beliau selalu ada peningkatan santri mengaji. Mbah Dim wafat 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H di usia 78 tahun.[ ]
Ditulis oleh Yuliantoro Tuesday, 25 August 2009 Sinopsis Buku Manakib Abuya Cidahu Dalam Pesona langkah di Dua Alam Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan. Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya. Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari dan Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya. Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi. Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru “Thariqah aing mah ngaji!” Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya. Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran. Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa. Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.hal 396. Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 0300 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupaDeden Gunawan - detikNewsFoto Rizal Maslan/detikcomBanten - Sosok Abuya Cidahu, sangat melekat dibenak masyarakat Banten khususnya dan Indonesia pada umumnya. Sosok ulama dan pejuang kemerdekaan di Banten ini kini bisa dinikmati melalui sebuah buku biografi berjudul Buku Manaqib Abuya Cidahu, Dalam Pesona Langkah di Dua Manaqib Abuya Cidahu ini diluncurkan oleh putra kedua ulama kharismatik itu, KH M Murtadlo Dimyathi di Pondok Pesanteren Cidahu, Kelurahan Cidahu, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Banten, pekan lalu. Dalam acara peluncuran tersebut hadir sejumlah pejabat Provinsi Banten dan Padeglang, serta Mur, sapaan akrab KH Murtadlo Dimyathi ini mengatakan, Buku Manaqib Abuya Cidahu ini merupakan perjalanan hidup ayahnya yang merupakan tokoh ulama dan juga mantan pejuang di masa kemerdekaan. Oleh sebab itu kenapa dirinya memberi judul tulisannya itu dengan kata-kata 'Dalam Pesona Langkah di Dua Alam'."Singkat kata manaqib adalah perjalanan hidup yang baik dan terpuji, baik menurut adat, bangsa dan negara. Pesona Langkah di Dua Alam, karena Abuya selain seorang ulama juga seorang pejuang," katanya yang ditemui detikcom di kediamannya di Pandeglang, Sabtu 15/11/2008.Kak Mur menjelaskan, buku yang dibuat tentang ayahnya itu menceritakan hidup Abuya Cidahu semasa kecil, baik dalam hal menuntut ilmu agama ke sejumlah pesantren di seluruh Jawa, perjuangan syiar Islam dan juga perjuangannya melawan kolonialisme Belanda melalui Laskar Hisbullah di wilayah Banten dan Jawa Kak Mur, Buku Manaqib Abuya Cidahu bisa dibaca siapa saja, tidak hanya kalangan santri agar bisa diambil pelajarannya. Namun begitu, Kak Mur mengingatkan, agar para pembacanya harus hati-hati dan bisa memahami yang dalam kisah perjuangan ulama dan pejuang Banten ini penuh nilai-nilai dan norma agama bernaunsa tasawuf. "Oleh sebab itu, kita nggak banyak-banyak menerbitkannya. Tapi bagi yang mau baca silakan saja, jangan dipraktikan kalau belum memahami agama Islam secara utuh," Manqib Abuya Cidahu setebal 400 halaman dengan kertas HVS dibagi dalam 14 Bab. Dimulai bab pertama yang mengisahkan kelahiran, masa kecil dan belajar Abuya Cidahu, termasuk tentang silsilah keluarganya yang masih keturunan Sultan Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah mengisahkan hikmah-hikmah hidupnya selama menyebarkan ajaran Islam di Banten. Ketenaran Abuya Cidahu sendiri cukup dikenal para kiai sepuh di Jawa, terutama dari kalangan Nahdliyin NU dan juga para pejabat pemerintah pusat. Pada bab terakhir dikisahkan tentang wafatnya kiai yang dikenal sebagai Wali Qutb ini, pada awal bulan Oktober 2003 silam.
KH Tubagus Tb Ahmad Bakri, lebih dikenal dengan sebutan Mama Sempur. Mama merupakan istilah bahasa sunda yang berasal dari kata rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kiai sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kiai. Sementara Sempur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Mama Sempur lahir di Citeko, Plered, Purwakarta, Jawa Barat pada tahun 1259 H atau bertepatan dengan tahun 1839 M, ia merupakan putera pertama dari pasangan KH Tubagus Sayida dan Umi, selain KH Tubagus Ahmad Bakri dari pasangan ini juga lahir Tb Amir dan Ibu Habib. Keturunan Rasulullah saw Dari jalur ayahnya, silsilah KH. Tubagus Ahmad Bakri sampai kepada Rasulullah saw sebagaimana dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul Tanbihul Muftarin h. 22, sebagaimana berikut KH. Tb. Ahmad Bakri bin KH. Tb. Saida bin KH. Tb. Hasan Arsyad Pandeglang bin Maulana Muhammad Mukhtar Pandeglang bin Sultan Ageng Tirtayasa Abul Fath Abdul Fattah bin Sultan Abul Ma’ali Ahmad Kenari bin Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qodir Kenari bin Maulana Muhammad Ing Sabda Kingking bin Sultan Maulana Yusufbin Sultan Maulana Hasanudin bin Sultan Maulana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati bin Sultan Syarif Abdullah bin Sultan Maulana Ali Nurul Alam bin Maulana Jamaluddin al-Akbar bin Maulana Ahmad Syah Jalal bin Maulana Abdullah Khon Syah bin Sultan Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Sayyidina Ubaidillah bin Imam al-Muhajir ila Allah Ahmad bin Isa an-Naqib bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Aridl bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina wa Maulana Husain bin Saidatina Fatimah az-Zahra binti Rosulillah SAW. Ayah KH Tubagus Sayida yang juga kakeknya KH Tubagus Ahmad Bakri adalah KH. Tubagus Arsyad, ia seorang Qadi Kerajaan Banten, namun KH Tubagus Sayida nampaknya tidak berminat untuk menjadi Qadi Kerajaan Banten menggantikan posisi ayahnya dan dengan berbagai pertimbangan akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Banten. Perjalanan KH. Tubagus Arsyad dari Banten membawanya sampai di daerah Citeko, Plered, Purwakarta, di tempat inilah Tubagus Sayida bertemu dan menikah dengan Umi, dan di daerah ini pula seorang bayi yang diberi nama Ahmad Bakri dilahirkan, Ahmad Bakri muda mendapatkan pendidikan agama dari keluarga, untuk menambah wawasan dan ilmu keislaman, ia belajar di berbagai Pondok Pesantren yang ada di Jawa dan Madura, sebelum berangkat, KH. Tb. Sayida berpesan kepada Ahmad Bakri agar jangan berangkat ke Banten apalagi menelusuri silsilahnya, ia baru diperbolehkan melakukan hal tersebut ketika masa studinya di pesantren selesai. Tidak puas belajar di Jawa dan Madura membuat KH. Tubagus Ahmad Bakri bertekad berangkat ke pusat studi Islam, yaitu Mekkah, disana ia belajar kepada ulama-ulama nusantara, setelah dianggap cukup dan berniat menyebarkan agama Islam ia kemudian pulang ke Purwakarta dan pada tahun 1911 M, ia memutuskan untuk mendirikan pesantren di daerah Sempur dengan nama Pesantren As-Salafiyyah. Beberapa santri KH Tubagus Ahmad Bakri yang menjadi ulama terkemuka diantaranya KH. Abuya Dimyati Banten, KH Raden Ma’mun Nawawi Bekasi, KH Raden Muhammad Syafi’i atau dikenal dengan Mama Cijerah Bandung, KH Ahmad Syuja’i atau Mama Cijengkol, KH Izzuddin atau Mama Cipulus Purwakarta. Di pesantren ini pula KH. Tubagus Ahmad Bakri banyak menuangkan pemikirannya dalam berbagai kitab yang ia tulis, dan selama hidupnya KH Tubagus Ahmad Bakri diabdikan hanya untuk mengaji atau thalab ilm, dan thalab ilmu inilah yang menjadi jalannya untuk mendekatkan diri kepada Allah tarekat, maka tarekat yang ia pegang adalah Tarekat Ngaji, sebagaimana ia ungkapkan dalam karyanya yang berjudul Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat pada h. 47-49 sebagaimana berikut Ari anu pang afdol2na tarekat dina zaman ayeuna, jeung ari leuwih deukeut2na tarekat dina wushul ka Allah Ta`ala eta nyatea tholab ilmi, sarta bener jeung ikhlash. Tarekat yang paling afdol zaman sekarang dan tarekat yang paling dekat dengan `wushul` kepada Allah adalah thalab ilmi serta benar dan ikhlash Pernyataan KH Tubagus Ahmad Bakri ini dikutip dari jawaban seorang Mufti Syafi`i yaitu Syaikh Muhammad Sayyid Babashil yang mendapat pertanyaan seputar tarekat dari Syaikh Ahmad Khatib. Dialog kedua ulama tersebut dikutip oleh Mama Sempur dalam dalam Kitab Idzharu Zughlil Kadzibin halaman 61. Menurut salah seorang cucu KH. Tubagus Ahmad Bakri, yaitu KH. Tubagus Zein, KH. Tubagus Ahmad Bakri pernah mengecam terhadap penganut tarekat, karena sebagian dari mereka ada yang meninggalkan syariat dan menurut KH. Tubagus Zain, kecaman ini lebih kepada melindungi masyarakat agar tetap bisa menyeimbangkan antara syariat dan hakikat. Namun demikian, dalam kitab Futuhatut Taubah Fi Shidqi Tawajuhit Tarekat h. 32 seraya mengutip pernyataannya Syaikh Muhammad Amin Asyafi`i Annaqsyabandi, KH. Tubagus Ahmad Bakri menyatakan bahwa hukum masuk dalam salah satu tarekat mu`tabarah bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan yang sudah mukallaf adalah fardlu`ain. Sehingga menurut salah satu riwayat KH Tubagus Ahmad Bakri pun tetap menganut tarekat mu`tabarah. Adapun tarekat yang dianutnya adalah Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah TQN. Sementara mengenai Tarekat Ngaji ini, bisa dilihat dari aktifitas dan kesibukan KH. Tubagus Ahmad Bakri sehari-hari, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang muridnya, KH Mu`tamad. Menurut Pengasuh Pesantren Annur Subang ini, setiap pukul empat pagi, KH. Tubagus Ahmad Bakri sudah bersila dan berdzikir di dalam masjid, kemudian dilanjutkan dengan mendirikan shalat subuh berjamaah, selepas wiridan dan shalat berjamaah selesai, ia tetap bersila sampai waktu dluha tiba, kemudian melaksanakan shalat dluha dan dilanjutkan kembali dengan mengajar ngaji santri sampai pukul WIB. Usai mengajar ngaji santri, jadwal pengajian selanjutnya adalah mengajar ngaji kiai-kiai sekitar kampung dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur berjamaah. Kemudian ia pulang ke rumah dan istirahat. Namun ia tak pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu para tamu, sampai waktu ashar. Selepas shalat Ashar, KH. Tubagus Ahmad Bakri kembali mengaji bersama para santri hingga menjelang maghrib. Selepas maghrib, istirahat sejenak dan shalat Isya, setelah shalat isya, ia kembali mengajar sampai pukul WIB. Bahkan menurut satu riwayat, kebiasaan KH. Tubagus Ahmad Bakri yang pernah diketahui oleh santrinya adalah ia tidak pernah batal wudhu sejak isya sampai subuh dan tidak pernah terlihat makan. Beguru Kepada Ulama Nusantara dan Mekkah Keluarga KH. Tubagus Ahmad Bakri adalah keluarga yang taat beragama, ayahnya pun merupakan salah satu ulama kharismatik, sehingga pendidikan agama KH. Tubagus Ahmad Bakri di usia dini diperoleh melalui ayahnya. Adapun Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh KH. Tubagus Ahmad Bakri meliputi Ilmu tauhid, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Hadits dan Tafsir. Menurut salah seorang cucunya, setelah ilmu dasar agama dianggap cukup, Mama Sempur memutuskan untuk menimba ilmu ke pesantren yang ada di Jawa dan Madura, beberapa ulama yang pernah ia timba ilmunya adalah Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya Betawi, Syaikh Soleh Darat bin Umar Semarang, Syaikh Ma’sum bin Ali, Syaikh Soleh Benda Cirebon, Syaikh Syaubari, Syaikh Ma’sum bin Salim Semarang, Raden Haji Muhammad Roji Ghoyam Tasikmalaya, Raden Muhammad Mukhtar Bogor, Syaikh Maulana Kholil Bangkalan Madura bahkan di Syaikh Maulana Kholil inilah beliau mulai futuh terbuka pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan agama Islam. Pengembaraan di dunia intelektual tidak membuat Mama Sempur merasa puas. Untuk itu akhirnya ia memutuskan untuk berangkat menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam kitab Idlah al-Karatoniyyah Fi Ma Yata’allaqu Bidlalati al-Wahhabiyyah h. 27, Mama Sempur menyebutkan guru-gurunya sebagaimana berikut Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikh Said Babshil, Syaikh Umar bin Muhammad Bajunaid, Sayyid Abdul Karim ad-Dighistani, Syaikh Soleh al-Kaman Mufti Hanafi, Syaikh Ali Kamal al-Hanafi, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Ali Husain al-Maliki, Sayyid Hamid Qadli Jiddah, Tuan Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Mukhtar bin Athorid dan Syaikh Muhammad Marzuk al-Bantani.
kata kata abuya dimyati